Sabtu, 29 Agustus 2009

Menatap Pagar Perbatasan

Perbatasan disebut beranda depan bangsa. Perbatasan menjadi pintu gerbang sebuah negara. Perbatasan tidak sebatas kepada garis batas laut, patok batas darat, serta matra udara yang ditentukan dengan titik koordinat udara. Pintu masuk melalui bandar udara dan pelabuhan juga menjadi pintu pagar negara. Seberapa indahkan pintu pagar negeri ini di tiga matra tersebut?

(Foto: dok. pribadi Februari 2007)


Ini adalah satu dari beberapa Pos Lintas Batas (PLB) Indonesia. Lokasinya di Kecamatan Jagoi Babang, Kabupaten Bengkayang. Maaf sekali, ada gambar saya dan teman saya. *Mohon ampun - hehehe*

Pos Lintas Batas hanya digunakan untuk melintas dalam waktu 1x24 jam bagi warga negara Indonesia untuk dapat melancong ke negeri tetangga. Ada empat provinsi yang memiliki PLB dan Pos Perlintasan Lintas Batas (PPLB) darat, yakni Kalimantan Barat, Kalimantan Timur, Papua, dan Nusa Tenggara Timur. Untuk PLB laut, ada di provinsi Kepulauan Riau dan juga Sulawesi Utara (menuju Filipina).

Bagi masyarakat yang tinggal di sepanjang garis perbatasan, jangan lagi dipertanyakan seperti apa nasionalisme mereka. Jika mau berkhianat, sejak awal bisa saja mereka pindah ke negeri tetangga demi apa yang dinamakan kesejahteraan.

Tapi tidak, mereka lebih memilih hidup sederhana (kadang tersiksa) tapi tetap di wilayah Indonesia. Apalagi yang kurang dari masyarakat perbatasan? Pemerintah pusat hanya bisa menikmati hiruk pikuk Ibukota tanpa tahu apa yang dialami masyarakat di sepanjang garis perbatasan sana.

(Foto: dok. pribadi Februari 2007)


Ini adalah patok batas. Warung yang ada di gambar merupakan warung milik warga Sarawak, Malaysia. Hanya beberapa meter jaraknya dengan lapak-lapak milik warga Indonesia. Tapi semuanya berjalan seperti biasa. Di sini, Kita bisa bertransaksi dengan Ringgit maupun Rupiah.

Patok inilah yang kerap diributkan karena ada pergeseran. Tapi jangan salah, ada satu model patok yang sulit untuk dipindahkan dan koordinatnya sudah pasti. Ini dia. (Sekali lagi maaf, karena ada gambar sayanya, hehehe)

(Foto: dok. pribadi Februari 2007)


Nah, sekarang apa yang diributkan? Dari sebuah iklan Enigmatic Malaysia yang ada tarian Pendetnya, kita kebakaran jenggot. Jujur, saat saya tersadar setelah menonton iklan itu, kalimat yang meluncur keluar dari mulut saya adalah: "Setan Malaysia! Sialan! Gue kira iklan apaan!" -- Oops, kasarnya mulut saya! Hehe!

Bagaimana tidak mereka mudah mengklaim semua barang produksi Indonesia? Demi Ringgit yang dikonversi ke Rupiah, saya juga baru tahu, kalau masyarakat dari Kabupaten Sambas, yakni daerah asal orangtua saya dan keluarga besar saya tinggal, memiliki mata pencaharian berjualan di Pasar Serikin, Sibu, Sarawak. Mereka pergi Jumat sore dari Sambas dengan menumpang truk sampai perbatasan dan akan kembali pada Minggu sore kemudian.

Perjalanan mereka dari Sambas hanya sampai perbatasan saja. Setelah itu, mereka menumpang kendaraan milik orang Malaysia untuk sampai ke Pasar pada Sabtu pagi. Mereka berjualan selama akhir pekan. Tak heran, saat tiba di pasar Serikin banyak saya temukan baju dan aksesoris yang sengaja dibeli dari Jakarta dan Yogyakarta.

(Foto: dok. pribadi Februari 2007)

Inilah Pasar Akhir Pekan Serikin. Ada tikar kayu di dalam gambar. Itu adalah tikar bidai, khas tradisional masyarakat Dayak Bengkayang. Bagaimana nasibnya sekarang? Jangan heran, brand Tikar Bidai sudah dipatenkan Malaysia. Jangan marah!

Dari informasi yang saya himpun di lapangan, masyarakat serta pemerintah daerah setempat menyerah. Setelah mereka sejak jauh hari mengupayakan paten terhadap kerajinan khas daerah mereka. Apa yang didapat? Lagi-lagi birokrasi, walau saya tidak tahu persis di mana yang menyulitkan proses tersebut.

Selain hak paten, masyarakat juga mengeluhkan harga jual kerajinan yang jauh sangat murah dibandingkan jika dijual kepada orang Malaysia. Bisalah kita sebut EKSPOR!

Jadi, apakah kemudian kita marah dengan klaim Malaysia atas produk dan juga kebudayaan kita? Seberapa jauh kita telah menghargai dan berupaya melestarikan budaya?

Saya teringat dengan cemoohan seorang teman saat kuliah. Ketika saya mencoba masuk ke dalam Kelompok Karawitan di kampus. Mereka berkata sinis, "Ikut ekskul kok yang ndeso? Yang lebih kerenlah, pers mahasiswa atau olahraga. Lebih gimana getu." *Jiaaah, dalem ni kalimat. Hahahaha*

Ops! Hehehe, tanpa ikut Persma, saat ini saya juga bekerja di pers. *sombong dikit, wekekek* Tapi, dari cemoohan ini, saya mengambil kesimpulan. Demi gengsi, prestise biar dikata orang moderen, Kita lupa menjaga kebudayaan kita.

Yang saya tidak habis pikir adalah, saya bukan orang Jawa, tapi saya mau mempelajari budaya Karawitan Jawa. So, kalau misalnya saja orang Jawa meninggalkan budayanya dan dipelajari oleh saya yang notabene orang Melayu, lalu bisa saya kembangkan di ranah Melayu saya, apakah saya mencuri? Saya akan menegaskan, saya jatuh cinta pada kesenian Jawa dan ingin mengembangkannya. Sepertinya modus, bukan?

Lalu, tiba-tiba saya teringat dan ingin mengutip kalimat yang pernah saya baca. "Bangsa ini anget-anget tahi ayam, Panas dengan apa yang sedang dipergunjingkan. Saat tak lagi hangat, ya dilupakan. Nah loh?"

Paling tidak, ketika Kita berteriak "Ganyang Tetangga Sebelah", warga di sepanjang perbatasan darat Pulau Kalimantan sudah 64 tahun hidup secara tradisional. Atau bahasa lainnya, "ach, orang kampung lu."

Kalau negeri tetangga menyerang lebih dulu, merekalah penjaga nasionalisme bangsa yang akan mati sia-sia lebih dulu. Ini dia kondisi jalan milik Malaysia di perbatasan yang berdempetan dengan Indonesia.

(Foto: dok. pribadi Februari 2007)


Kita yang di Jakarta? Lokasi Kita jauh, kawan. Mereka butuh waktu untuk sampai ke Jakarta, bahkan dengan Pesawat sekalipun. Tapi tidak dengan saudara kita yang ada di perbatasan darat Pulau Kalimantan, perbatasan laut di Pulau Sumatera.

Renungkanlah!

7 komentar:

Wahhh artikelnya bagus...gak heran deh kerja di pers hehehe.
Iya sis yg bikin miris waktu negara tetangga merampok budaya kita.Tapi mungkin itu lah salah satu alasan pemerintah untuk tidak memulai perang karna kasihan dengan saudara2 kita yg ada di perbatasan.
Saya harap dengan kejadian ini segenap bangsa lebih bisa menjaga budaya2 kita dengan baik sehingga tidak kecolongan lagi dan buat pemerintah lebih memperhatikan kesejahtraan saudara2 kita yg ada di perbatasan.Eittt garis batas wilayah juga tentunya..lebih di perjelas lagi.

ya .. banyak sudut pandang untuk memutuskan sesuatu. Mari perbaiki kurikulum bangsa sebelum generasi berikut amnesia

Assalamualikum Wr Wb.
Salam kenal mba:)

Tulisannya bagus mba, mencoba memandang tidak hanya dari sisi kedzoliman yang dilakukan oleh negeri tetangga, tetapi juga dari sisi kelemahan kita mengapa hal itu akhirnya bisa terjadi...

Duh senangnyn deh ngeliat mba bisa jalan-jalan, banyak hal-hal baru yang bisa kita temui dan jadi pengalaman berharga tentunya dalam hidup.

Ups kelupaan, mau minta izin, saya link ya mba blognya, terima kasih:)

artikel nya bagus...saya berasal dari Jagoi Babang perbatasan RI Malaysia.

boleh mampir gak kalo saya ke sana lagi??? ^^

http://www.blogger.com/profile/11526825114251996267

Posting Komentar

Share

Twitter Delicious Facebook Digg Stumbleupon Favorites More